Menyoal Intimidasi Jurnalis dan Dampaknya Program Presiden Prabowo Subianto

Minggu, 2 Maret 2025 09:02 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto ketika memberi jawaban atas pertanyaan wartawan. Foto: tangkpan layar merdeka
Iklan

Intimidasi terhadap jurnalis menunjukkan pemerintahan tidak demokratis. Program Presiden Prabowo Subianto tidak bisa berjalan transparan.

Oleh Pliplo Society

Sangat disesalkan jika saat peliputan jurnalis Kompas.com Adhyasa Dirgantara, mendapat intimidasi dari anggota TNI di Lapangan Mabes Polri, pada Kamis, 27 Februari 2025.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Intimidasi dengan kata – kata itu, bernada ancaman merupakan intimidasi verbal. Pelaku bisa dikenai ancaman, Pasal 8 Undang-Undang (UU) Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang menyatakan tegas, bahwa wartawan dalam menjalankan profesinya dilindungi hukum.

Selain di Pasal 18, UU itu juga mengatur hukuman bagi siapa pun yang menghalangi kerja wartawan. Pasal 4 Ayat (2) dan Ayat (3) penghambat kerja jurnalis, bisa dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda maksimal Rp 500 juta.

Tempo menyaksikan benar adanya intimidasi itu. Sebagaimana dikutipnya; … melihat salah satu ajudan menghampiri jurnalis yang meminta waktu Panglima TNI untuk wawancara.

Selanjutanya, masih saya kutipkan dari Tempo; Ajudan itu mempertanyakan apakah jurnalis tidak mendapat arahan sebelum mewawancarai orang nomor satu di TNI itu.

“Ngapain kau? Memang tidak di-briefing?,”.

“Kutandai muka kau, aku sikat kau,” tulis Tempo, 27 Februari 2025.

Sekarang pertanyaan saya sebagai masyarakat, apa tujuan anggota TNI – entah ajudan atau pengawal – mempertanyakan kepada Adhyasa hal seperti itu?

Padahal Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto, saat ditanya jurnalis Adhyasa Dirgantara dalam wawancara doorstop, terkait perkara penyerbuan prajurit TNI ke Polres Tarakan sudah memberi jawaban. Tapi tiba-tiba ada seorang anggota TNI menyoal pertanyaan jurnalis.

Bagi saya anggota TNI itu, juga berupaya menghalangi - halangi hak publik untuk memperoleh informasi. Sebagaimana dalam Pasal 6 di UU Pers, "Setiap orang berhak untuk memperoleh informasi yang diperlukan untuk mengembangkan diri dan lingkungan sosialnya."

Kalau institusi negara – seperti TNI maupun Polri - sudah mulai melakukan intimidasi terhadap warga sipil. Kerja – kerja jurnalis. Tandanya pemerintahan Prabowo sudah mulai otoriter. Menurut saya, sangat berbahaya bagi keberlangsungan demokratisasi di negeri ini.

Bagaimana pemerintahan Prabowo, bisa menjalankan programnya dengan baik dan dirasakan semua masyarakat. Kalau cara – cara otoritarian terjadi dalam pemerintahannya.

Hal ini tentu sangat kontradiktif dengan keinginan Prabowo Subianto sebagai presiden, akan menumbuhkan perekonomian hingga 8 %. Dan penghapusan kemiskinan absolut dengan fokus pada investasi, ekspor, serta pengembangan sektor-sektor strategis seperti pertanian, manufaktur, dan teknologi.  

Belum Ada Program yang Dirasakan Masyarakat

Meski dalam kepemimpinannya 100 hari, Prabowo tidak secara resmi menetapkan sebagai target agenda program. Namun dalam 100 hari lebih satu bulan ini, belum ada program yang bisa dirasakan manfaatnya oleh masayarakat. Alih -alih dirasakan, yang terjadi  justru muncul kecemasan masayarakat.

Program unggulan makan bergizi gratis (MBG), misalnya, yang merupakan program andalan Presiden Prabowo Subianto. Survei Indikator Politik yang dilakukan 16 – 21 Januari 2025, membuktikan terjadi kecemasan di masyarakat.

 Sebab dari survei itu menunjukkan sebanyak 46,9% masyarakat menilai program MBG tersebut rentan terjadi korupsi. Sementara  hanya 43,1 % responden yang percaya atau sangat percaya program ini bebas korupsi.

Meski program yang sudah dimulai bulan Januari lalu itu, terdapat 62,5% masyarakat yakin pelaksanaan MBG tepat sasaran, sedangkan sebanyak 30,85 tidak yakin. Namun program ini, masih juga memunculkan banyak persoalan.

Penambahan alokasi anggaran MBG dari yang semula dianggran sebesar Rp 71 triliun. Kemudian diputus presiden menambah sebesar Rp 100 triliun, menjadi Rp 171 triliun. Bukti bahwa, MBG yang semula akan dijadikan sebagai penggerak kabangkitan ekonomi daerah, justru membebani daerah.

Daerah diminta turut patungan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2025 ke program MBG sebesar Rp 5 triliun. Padahal daerah sudah terdampak penghermatan Anggran Pendapatan dan Belanja Negera (APBN) 2025, Transfer ke Daera (TKD) sebesar Rp 50,59 triliun, melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025.

Sementara banyak daerah yang terkena imbas Covid – 19 maupun UU Omnibus Law yang secara signifikan mengubah ketentuan UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang. Banyak daerah belum bisa bangkit dari pengelolaan perekonomian secara optimal. Masih banyak desa-desa rentan terhadap kemiskinan.

Analis Tim Jurnalisme Data Kompas menyebutkan Data Indeks Desa Membangun (IDM), yang digunakan mengukur kemajuan desa, versi pemerintah, menyebut ada kesenjangan antara wilayah barat dan timur. Indonesia barat tumbuh 27,3 persen, sementara desa di Indonesia timur hanya 22,3 persen. Kesenjangan ini mencerminkan tantangan besar dalam pemerataan pembangunan desa.

Maka itu untuk merealisasi program – programnya, Presiden Prabowo perlu melibatkan pers. Guna membantu kesadaran masyarakat tentang program yang dijalankan, sehingga meningkatkan partisipasi dan dukungan dari masyarakat.

Tentu pers akan bekerja sesuai fungsinya, yaitu mengawasi dan mengevaluasi, agar tercipta peningkatan kualitas, efisiensi dan efektivitas program. Tanpa pers program yang dijlalankan pemerintahan Prabowo, akan melawan arus demokrasi.

Sebab pers merupakan pilar demokrasi yang sangat penting menjaga keberlanjutan sistem pemerintahan yang transparan dan akuntabel. Sebagai pilar demokrasi, pers memiliki peran sebagai pengawas yang kritis terhadap jalannya pemerintahan dan kebijakan publik. ***

Lamongan, 2 Maret 2025

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler